Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat datang di Augina Putri's Blog. Kali ini aku akan mengulas novel yang sudah kubaca berulang kali yaitu Rindu. Berikut foto bukunya:
Novel Rindu ditulis oleh Tere Liye dan diterbitkan oleh Republika Penerbit tahun 2014. Buku punyaku cetakan bulan April tahun 2015. Novel ini cukup tebal yaitu berjumlah 544 halaman. Sampul bukunya cukup sederhana tapi bagus menurutku pemilihan warnanya. Pemilihan tulisan untuk di sampul bukunya juga bagus. Pemilihan katanya juga baik.
Novel Rindu menceritakan tentang kisah-kisah para penumpang kapal BLITAR HOLLAND selama perjalanan untuk menunaikan ibadah haji pada masa Indonesia belum merdeka. Kisah bagaimana perasaan kehilangan yang dialami salah satu penumpang kapal dan akhirnya ikhlas merelakan, perasaan benci atas seseorang di masa lalu, dan kerinduan pada orang yang akan dilupakan. Perasaan-perasaan tersebut memunculkan banyak pertanyaan dan terdapat kaitannya dengan niat dan alasan melakukan perjalanan untuk menunaikan ibadah haji dengan menggunakan kapal BLITAR HOLLAND ini.
Tokoh-tokoh dalam novel Rindu beragam dan memiliki karakter khas setiap tokohnya. Ada Daeng Andipati seorang pebisnis sukses dan dipandang baik oleh masyarakat di daerahnya beserta istri, bi Ijah, dan kedua anaknya yang pintar serta menggemaskan yaitu Elsa dan Anna. Ada juga ulama terkenal bernama Ahmad Karaeng dan biasa dipanggil Gurutta, seorang keturunan pejuang terkenal dan ulama masyhur di masa lalu. Ada juga tokoh Ambo Uleng, seorang kelasi yang pendiam namun sangat baik hati. Ada pasangan orang tua amat mesra, Mbah Kakung dan Mbah Putri, yang selalu bergandengan tangan dan mendampingi satu sama lain. Tokoh yang kusuka dari novel ini adalah Anna, karena dia lucu sekali dan suka bertanya tentang berbagai macam hal.
Banyak sekali pelajaran tentang kehidupan yang dapat diambil dari novel ini. Beberapa kalimat di antaranya yaitu sebagai berikut:
- "Buku adalah sumber ilmu tiada ternilai, mengisi waktu kosong dengan membaca adalah pilihan baik selama di kapal." Gurutta (dalam Liye, 2015, hal. 58)
- "Kabar baik bagi kau, karena ketahuilah, barang siapa yang tulus menolong saudaranya, maka Allah akan menolong dirinya. Itu janji Tuhan yang pasti. Semoga kau termasuk di dalam golongan itu." Gurutta (dalam Liye, 2015, hal. 139)
- "Tidak perlu janji. Insya Allah sudah lebih dari cukup, Nak. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok lusa." Gurutta (dalam Liye, 2015, hal. 172)
- "Maka jangan pernah merusak diri sendiri. Kita boleh jadi benci atas kehidupan ini. Boleh kecewa. Boleh marah. Tapi ingatlah nasihat lama, tidak pernah ada pelaut yang merusak kapalnya sendiri. Akan dia rawat kapalnya, hingga dia bisa tiba di pelabuhan terakhir. Maka, jangan rusak kapal kehidupan milik kau, Ambo, hingga dia tiba di dermaga terakhirnya." Gurutta (dalam Liye, 2015, hal. 284)
- "Orang lain hanya melihat luar. Maka, tidak relevan penilaian orang lain." Gurutta (dalam Liye, 2015. hal. 313)
- "Berhenti lari dari kenyataan hidupmu. Berhenti cemas atas penilaian orang lain, dan mulailah berbuat baik sebanyak mungkin." Gurutta (dalam Liye, 2015, hal. 315)
- "Kenapa kita tetap memutuskan membenci? Karena boleh jadi, saat kita membenci orang lain, kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri." Gurutta (dalam Liye, 2015, hal. 373)
- "Kang Mas, Allah memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Segala sesuatu yang kita anggap buruk, boleh jadi baik untuk kita. Sebaliknya, segala sesuatu yang kita anggap baik, boleh jadi amat buruk bagi kita." Gurutta (dalam Liye, 2015, hal. 470)
- "Wahai langit yang gelap, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja." Gurutta (dalam Liye, 2015, hal. 495)
Novel ini kurekomendasikan untuk teman-teman pembaca blogku yang menyukai genre fiksi, potongan kehidupan, dan romantis.
Sekian postingan kali ini. Sampai bertemu di postingan selanjutnya.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
#mulaimenulisdiblog